Monday 5 July 2021

Berjalan Di Terowongan Gelap

Pernah ada moment dalam hidupku sepenuhnya yang sangat tidak menyenangkan yang sekarang aku sadari bahwa itu karena aku seringkali jalan sendirian di terowongan gelap. Padahal siapa yang bisa jalan dengan lancar di terowongan gelap coba? Pasti ada kejadian jatuh entah itu kesandung batu kecil atau justru kita menginjak kotoran/kubangan air kan? Lalu gimana kondisinya ketika udah habis masuk ke kubangan air, nginjek kotoran, kesandung pula? Kaki kita kotor iya, berat iya, luka iya dan mungkin ada darah karena kesandung dan jatoh kan? Tapi tetep lanjut buat memaksakan jalan? Coba bayangin rasanya sakitnya gimana.

Persis kayak hidup, aku pernah di moment untuk berpikir I am fine, I am okay, rasa sakit aku gak sebanding sakit orang lain, orang lain lebih sakit. Aku gak pernah hadir untuk berempati dengan rasa sakitku sendiri. Bertahun-tahun kayak gitu dan akhirnya sampai ke titik lelah. Aku lelah sama hidupku sendiri, rasanya aku cuma pengen waktu berhenti, kenapa waktu selalu jalan terus dan gak pernah biarin aku istirahat sebentar doang? Bahkan untuk napas aja susah banget. Jangankan melangkahkan kaki yang berat banget, buat pura-pura tersenyum aja udah gak bisa. Aku jadi sering sakit fisik, asam lambung naik seiring peningkatan rasa tidak bahagia yang aku alami. Aku jadi panik attack setiap kali aku telat dateng meeting karena terjebak macet.

Dan kejadiannya itu selalu berulang, selalu ada di akhir tahun sampai awal tahun, aku gak merasa bahagia di waktu tersebut. Setiap kesalahan kecil, aku selalu jahat dan marahin diri aku sendiri. Pernah suatu hari di tahun 2018, pikiran aku udah gak bisa terbendung lagi. Jadi aku sensitif untuk hal kecil sekalipun. Saat itu memori internal hp penuh dan akhirnya aku pindahin ke SD Card dong, tapi ternyata kepenuhan dan bikin semua foto hilang seketika! Damn! Apa yang aku rasain? marah, kecewa dan benci banget diri sendiri. Karena mengambil keputusan sendiri dan ternyata salah. Rasanya aku lagi nunjuk-nunjuk diri aku sendiri tanpa empati, aku marah karena kebodohan aku. Rasanya diri aku yang jahat lagi ngomong gini "bodoh banget sih, gak liat apa kalau itu memori penuh. Ilang kan semua foto. Emang semua kenangan yang ada di foto itu bisa kembali?" Akhirnya aku nangis. Semua temen kantor bingung karena aku menangis untuk hal kecil, hanya untuk memori card dan foto yang hilang. Receh ya? Aku kalau di posisi temen aku juga akan berpikir gitu "lebay banget ini manusia". 

Ada juga momen ketika aku gak bergairah ke kantor, gak bisa bahagia dan raut muka sedih. Ya sedih tapi aku gatau sebabnya apa. Pikiran aku kayak penuh banget. Lalu ada celoteh temen aku yang bilang "lah jomblo sedih karena apa? kan gak punya pacar?". Sebenernya itu konteksnya bercanda, tapi disitu aku sakit hati banget. Rasanya gak enak lagi pikiran berkecamuk tapi gak ada satupun orang yang ada sekedar duduk diam mendengarkan kita. 

Di sisi lain, ada seorang teman yang juga menangis karena dijahili dan semua orang mengerubungi dia dan berempati. YES! Aku compare diri aku dengan dia, aku merasa aku gak didenger tapi kenapa dia justru ditanya-tanya? Aku makin merasa sendirian. Dan ada satu orang temen aku juga yang justru dateng melihat aku nangis dan dia bilang "ngapain sih nangis untuk hal sepele kayak gitu, tuh nangis tuh kayak si A baru boleh nangis". Disitu aku makin merasa aku sendirian. Segala perasaan aku gak divalidasi, aku marah sama lingkungan dan aku marah sama diri aku, aku bertanya-tanya kapan aku gak sensitif dan nangis ya? Kok aku jadi fragile banget kayak barang pecah belah yang di toko-toko. Fisik aku semakin drop, aku bisa nangis dan kecapean dan semakin drop. Setiap liat jalanan jakarta dan liat betapa macetnya jalanan disaat harusnya aku meeting dan HARUS segera sampai di tempat, aku semakin panik. Aku semakin gelisah dan maag aku kambuh. Ya kalian gak salah baca kok kata harus aku capslock dan bold, karena itu yang aku katakan ke diri aku. aku mewajibkan banyak hal ke diri aku. Aku harus kuat, aku harus sehat, aku harus bisa, aku gak boleh gugup, presentasi ini harus lancar, aku harus sampai tepat waktu. Lalu aku marah sama hal yang gak bisa aku ubah. Kenapa sih jalanan bisa macet? Faktanya jalanan jakarta memang hal biasa kan macet? Tapi ada kalimat lain di pikiran aku.  Kenapa sih aku salah ambil jalan, kenapa sih aku gak dateng lebih pagi lagi. Selain kata harus banyak juga kata kenapa yang aku sering tanyain ke diri sendiri. Semakin hari semakin parah. Aku bahkan karena panic attack sesampainya tempat meeting ke toilet cuma buat muntah, aku bahkan pergi dulu cari obat maag di warung terdekat. Rasanya gak enak, sedangkan aku harus menyelesaikan presentasi ke client dengan lancar. 

Apakah gejala fisiknya cuma itu, nope tentu saja. Aku bahkan gabisa tidur dengan nyenyak. Aku tidur dengan pasang headset dengerin brainwave atau music to sleep. Kadang works tapi lebih seringnya enggak. Aku insomnia. Aku bahkan pernah ke kantor dalam keadaan gak tidur sama sekali. Bukan begadang yang tidur diri hari, tapi emang gak tidur sampai pagi. Pikiran aku berisik banget, gak mau diem, tapi aku gak tau pikiran aku ngomong apa. Rasanya aku pengen segera ke apotek buat beli obat tidur. Tapi tentu aja aku gaboleh bergantung sama obat ketika gabisa tidur kan? 

Karena atas luka dan rasa sakit aku yang "dianggap sepele" ini gak digubris dan mendapatkan empati dari lingkungan sekitar, aku semakin diem dan gak membagi segala penatnya pikiran ini ke siapapun, aku melajutkan perjalananku sendirian di terowongan gelap dalam kondisi celana kotor dan penuh luka karena terjatuh. Akhirnya aku cuma bisa duduk di jalanan dan merasa bahwa aku lelah dan mau menghilang dari dunia ini. Pikiranku saat itu, bagaimana caranya pergi menghilang dari dunia ini tanpa rasa sakit? Bagaimana caranya agar aku tenang? Bagaimana caranya aku gak merasa sakit dan penat lagi? Bagaimana rasanya aku bisa tidur dengan nyenyak lagi? Bagaimana caranya meredam pikiran aku yang berisik ini? 

Aku gak pernah menemukan jawabannya, sampai suatu ketika ada salah satu sahabat aku di blognya yang pernah mengalami hal yang sama. Aku coba chat dan dia bilang mungkin itu karena quarter life crisis belum lagi kondisi lingkungan yang toxic dan pikiran berkecamuk, itu wajar. Sampai aku bilang aku capek sama hidup aku, rasanya mau menghilang aja. Dan dia cuma bales "kita ketemu yuk". Aku cuma bisa nangis baca chatnya. Karena ada orang yang mau meluangkan waktu cuma buat aku di saat dia pun sibuk dengan hidupnya, dan dia pun pasti sibuk dengan pikiran dan masalahnya.

Aku Mungkin memilih berjalan di terowongan seorang diri, tapi ketika aku terjatuh ada satu orang di depan sana yang ngasih lampu senter dan nunggu aku. Rasanya bersyukur punya satu orang yang hadir untuk bisa berbagi rasa sakit.

Tapi aku belajar satu hal bahwa Sedih dan luka itu valid, hanya karena tidak terlihat bukan berarti sedih dan luka itu gak sakit. Jangan sama ratakan sedih dan luka setiap orang. Karena tentunya akan berbeda.

Thursday 1 July 2021

The things to be grateful for ...

Last June

  1. Bikin konten bertemakan iklim, variatif dan client suka
  2. Dapet honor dari freelance dan gajian dari kantor
  3. Bisa menghirup udara segar
  4. Bisa menatap langit biru
  5. Bisa Qtime setelah lama
  6. Belajar mobil 
  7. Minum Strawberry mojito
  8. Bisa nangis dan mengutarakan isi hati dan pikiran tanpa marah dan nuduh. Tapi validasi perasaan
  9. Bisa nulis isi pikiran dalam daily journal