Monday, 14 April 2025

Jerit Sunyi Dari Dasar Samudra

Aku harap suaraku terdengar—
bukan gemuruh riuh petir menyambar,
melainkan getar bibir yang terkunci,
bersembunyi dalam gelapnya malam.

Aku harap suaraku terdengar,
tanpa perlu berucap, tanpa mengulang
kata demi kata yang saling menusuk.
Dalam kesendirianku,
air mata ini enggan berhenti mengalir.

Aku harap suaraku terdengar.
Tak kupinta istana dan kereta kuda indah
tak juga kuharap kemewahan sambil meronta.
Karena aku tahu,
bersamamu, aku percaya
bahwa rasa memiliki itu bisa hadir perlahan.
Tak kupinta gaun indah untuk ke pesta,
sebab bersamamu,
apa pun yang kupakai terasa memesona.

Namun aku harap suaraku terdengar—
ceritaku dianggap berharga,
meski berulang-ulang,
tanpa kau potong dengan kalimat tajam menyayat hati
Walau pernah kau dengar ribuan kali.

Aku harap suaraku terdengar.
Batuk kecilku bisa membuatmu khawatir, seperti anak kecil yang tersedak.
Kepalaku yang berputar mampu membuatmu bertanya pelan, tentang detail kondisiku
dengan rasa takut akan kehilanganku.

Aku ingin hariku kau tanyakan,
hanya dengan satu kalimat sederhana:
“Bagaimana harimu?”
Aku ingin perasaanku kau pedulikan.

Namun ceritaku terasa membosankan.
Mampu membuatmu terdiam.
Mampu membuatmu pergi,
meninggalkan pintu itu tanpa balasan.

Cerita lamaku,
kau tanggapi dengan tusukan di hatiku,
terasa tajam—teramat tajam.
Menyayatku tanpa darah yang terlihat.

Dan saat kuungkapkan,
kau hanya menuntut bukti
Menusukku dengan kalimat tajam tanpa henti
bahwa kata-katamu benar-benar membuatku berdarah.

Hembusan napas beratku membuat napasku kian tercekat.
Aku tenggelam,
dalam laut yang makin gelap dan dalam.

Ingin aku berteriak,
memaki, menyakitimu,
agar kau tahu,
bahwa luka itu nyata.
Agar semuanya memantul kembali padamu
seperti bumerang.

Namun aku tak sanggup.
Mungkin aku terlalu mencintaimu.

Sejak lama, kesepian dan kesendirian
memang santapanku sehari-hari.
Tapi kini hatiku yang rapuh
kian retak setiap hari.

Aku berharap,
sekali saja,
mendapat tatapan matamu—
perhatian yang biasa kau berikan pada orang lain,
tapi tidak padaku.

Semakin kuharap,
semakin seolah aku mengiris nadiku sendiri, perlahan.

Acap kali aku tak bisa bernapas.
Mulutku kubekap, agar tak mengeluarkan suara.
Tangisku, dalam gelap malam,
hanya kututup dengan mata tertutup menyudahi hari demi hari
Sambil berharap suaraku bisa terdengar esok hari

Nyatanya, tak kau dengar suaraku.
Tanpa suara lantang pun,
kau anggap aku menggugat perjuanganmu.

Tanpa tangisan pun, kau merasa aku mencekikmu.
Dan kau munculkan strategi-strategi
untuk memaksaku diam
Meski itu caraku menggambarkan hatiku

Aku harap suaraku terdengar—
walau bukan olehmu,
walau hanya Tuhan yang sudi mendengar.

Aku harap suaraku tersampaikan—
dengan indah,
bukan seperti kalimatku
yang seringkali memicu perang kata.

Aku harap suaraku terdengar—
walau hanya melalui titipan pesan surga,
dalam mimpimu.

Kadang aku bertanya dalam diam:
Apakah saat aku benar-benar berbalik badan,
kau akan tersadar?

Haruskah kukikis rasa ini,
agar tak lagi berharap?
Haruskah kuredam suaraku,
hingga pelangi pun sirna,
digantikan badai yang tak kunjung reda?

Karena jika suaraku
semakin jauh tak terdengar,
aku takut, jiwaku pun ikut mati—
bersama hari-hari
yang tak lagi kuimpikan bersamamu.