Akhir akhir ini beneran rasanya capek dan jadi sensitif banget.. bawaannya marah dan mudah kesal. Trus kayak lagi berusaha menguatkan diri menghadapi hari hari. Sedangkan udah mulai demot sama kerjaan, dikantor juga tiap WFO bawannya menghindar dari sosial dan fokus kerja. Padahal WFO jadi momen berjeda dengan status istri dan ibu dan kembali jadi diri sendiri. Tapi semua tidak terasa menyenangkan.
Gada support sistem karena hilang setelah ibu pergi. Bahkan penguat untuk mendekatkan diri ke Allah pun rasanya berat karena makin lelah dan bawannya pengen komplen sama Allah "why me?".
Tiap kali WFH dan mau buka laptop, pasti nangis dulu. Nangis sejadi jadinya. Karena kangen ibu. Ibu biasnaya dateng buat ketemu sama dede. Ibu biasanya dateng jam 7 sampe jam 9 atau kadang justru jam 10 sampe dzhur. Perginya ibu kayak ngasih lubang kosong tapi gue harus bisa tetap melayani orang lain dan harus jadi yang paling tegar. Lagi lagi kembali ke pertanyaan "why me?"
Sampai suatu ketika semua kayak ledakan besar karena tumpukan tumpukan beban ke pikiran yang dulu pernah hinggap, ga separah dulu sampe punya cara "how to die" tapi lebih "what if gue sakit parah dan dirawat di rs". Tp tiap kali ada pikiran ini, gue selalu memandangi muka anak yang sekarang udah 1 tahun. Akankah ada yang bisa merawat dan mencintai dia seperti gue ke dia? Akankah effortnya akan sama dengan gue dalam memperlakukan dia? Gue jadi makin bergumul sama pikiran itu.
Dan tentu aja udh skip jurnaling lama, ga pernah grounding dll. Sampe di titik butuh temen cerita tanla judgement yang punya banyak waktu tanpa terskip distraksi. Dan coba kontek psikiater online buat cerita. Karena gue yakin klo semakin hari makin kacau. Gue makin craving gula, makin sering nangis di toilet danp sebelum kerja, makin ga suka interaksi sama orang lain.
Gue bukan ga ikhlas atas kepergian ibu, gue hanya merasa hampa bahkan dalam menghadapi ujian kecil maupun besar dalam hidup gue karena bener kata adek yang bilang "masalah apapun jadi berat karena gada solusinya dan support yang berasal dr ibu". Tapi gue berhasil menutupi semua kesedihan kekecewaan dan beratnya yang gue jalani ini dengan orang gatau bahkan ga bertanya dan menganggap gue tegar dan baik2 aja, termasuk paksu.
He doesnt know me. Membuat gue jadi makin ngambil jeda buat mundur dan bangun tembok tinggi lagi.
Kenapa gue merasa "why me?" Ini selalu berputar di kepala? Karena akhir2 ini gue dihadapkan pada gue yang selalu ada buat orang lain, bahkan menghapus air mata mereka dan tidak menunjukan diri ini pun terluka sedang menghadapi duka yang sama.
Ketika ibu di ICU, gue satusatunya orang yg gabisa waktunya nungguin ibu, dirumah waswas selalu omongan paksu "besoknya ke rs agak siangan aja ya. Kasian pucu". Bahkan saat jenazah ibu di rumah gue ngurus semua bahkan lokasi pemakaman, paksu kesel dan nyuruh gue pulang karna udah malem. Gue disitu menangisi dalam hati "bukan soal guenya yg keberatan ngurus semuanya, tapi gue ingin ngurus karna itu ibu gue". Bahkan besok paginya pun gue harus nunggu paksu mandi yg lama dan otw jam 8 lewat. It harus balik lg karena ada sodara yg hamil gue drop ke rumah.
Bahkan gue tidak ada waktu untuk bersedih. Gue tidak ada waktu untuk ngajiin yasin semaleman jenazah ibu yg belum dikebumikan. Terakhir kalinya gue bisa ngobrol sama ibu adalah setelah ibu operasi dan nunjukin video pucu. Tapi karena gue harus pulang dan ibu lagi tidur, gue ga pamitan sama ibu.
Lalu ketika adik2 gue nangis, gue pun gabisa rapuh gue gabisa banyak menangis. Gue tegar? No. Gue hanya ga menunjukan itu semua, aslinya gue bingung harus gimana nanti gue tanpa ibu. Gue ga punya siapa2 lagi, gue harus kemana untuk bercerita? Gue bahkan ngomomg ke paksu "kamu jangan tinggalin aku ya. Aku ga punya siapa2 lagi". Dalam kalimat itu pun terselip permintaan "kamu jangan jahat ya sama aku, karena gada yg bsa belain aku kayak dulu pas masih ada ibu".
Bulan agustus ini bener2 bikin mental breakdown, karena di bulan ini harusnya kita ngerayain ulang tahun pucu bareng sama ibu. Tapi itu ga kesampean. Bahkan bulan ini pun gue bahagia karna merayakan ultah pucu, bisa jalan2 setelah 1 purnama setelah menikah tapi tetep hati gue sakit banget. Gue membayangkan what if ibu ada disini, apa yang akan dilakukan.
Bahkan di tanggal 4 ulang tahun ibu, kita bertiga + abi ke makam ibu dan berdoa. Lalu itong justru nangis kejer di makam, dan lagi lagi gue ngepukpukin dia "kangen ibu ya?". Guepun kangen, tapi lagi lagi ga pernah didepan orang lain nangis gue selalu menyendiri sendirian. Gue terkurung dengan responsibility "kaka pertama harus jd pengganti ibu, seperti yg ibu bilang". Lalu kaka pertama ini juga menjalani peran gandanya sebagai ibu dan istri yang sungguh ga mudah. Bahkan pas adik di rawat guepun bulak balik jagain dia nemenin dia buat nguatin dia kalau "lo ga sendiri". Tapi ternyata gue pun butuh dikuatin, gue sangat berharap kepada paksu, tapi paksu ga melihat jauh dalam diri gue. Brandingan "jiwa tegar anak pertama ini" apakah ini juga yg diliat paksu?
Gue inginnya, dipeluk tanpa alasan, ditanya kabarnya, perasaannya karena sesungguhnya gue capek banget akhir akhir ini.