Wednesday 20 June 2012

Seputar KIsah dari Novel A Child Called It


Disini  saya mau bercerita sedikit banyak tentang buku yang pernah saya baca yang menceritakan tentang Child Abuse(Penyiksaan terhadap anak-anak). Dalam buku itu benar-benar membuat hati saya miris, dikehidupan yang tak saya lihat, bahkan saya tak pernah membuka mata saya untuk melihat tentang dunia gelap yang berisi anak-anak yang mengalami penyiksaan oleh orang tuanya. Mungkin saya hanya pernah mendengar sekilas cerita dalam berita mengenai Child Abuse. Namun setelah membaca buku ini, saya menangis hati saya menangis. Saya benar-benar tak menyangka dalam dunia yang saya nikmati ini tersimpan banyak cerita tragis yang dialami orang anak-anak tak berdosa. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa-masa dimana mereka menghabiskan waktu mereka untuk tertawa bersama teman-teman sebayanya, namun mereka terjatuh bahkan terjerembab dalam luka dalam yang mungkin tak semudah membalikan telapak tangan untuk melupakannya. Luka itu akan terus membekas dalam hatinya, entah sampai kapan. Luka itu pun bisa merubah diri dia saat dewasa. Tidak seharusnya para orang tua melakukan tindakan kekerasan untuk mendidik anaknya, apalagi jika melampaui batas.

Kisah ini mengenai David Perzer yang tinggal di bagian California, Amerika. Ia juga yang menulis buku yang berjudul “ A child Called it” Ia mengalami kisah hidup yang benar-benar membuat hati saya teriris. Kisah masa kanak-kanaknya yang telah direnggut oleh ibu kandungnya sendiri. Ibu kandung yang telah melahirkan dia memberikan berbagai macam penyiksaan seperti memukulinya hingga babak belur, menamparnya, menendangnya, membakar tangannya diatas kompor sehingga membuat kulitnya melepuh, menyuruhnya bermandi air dingin ketika musim dingin tiba, menyuruhnya meminum satu sendok cairan amoniak sehingga membuat kulit lidahnya melepuh, menyuruhnya tidur dilantai basement, tidak memberinya makan 3 hari berturut-turut, menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, menyuruhnya tinggal diluar dengan berbekal selapis baju dalam keadaan turunnya salju, mencampurkan cairan amoniak+Clorox yang membuat siapapun yang menghirupnya sulit bernapas, bahkan sampai menusuk perutnya menggunakan pisau dan membuat luka panjang yang membekas dibagian dada sampai perut. Sungguh tindakan yang tidak wajar jika orang tua menggunakan alasan ini untuk mendidik anaknya atau menghukum anaknya yang nakal. Dalam benak saya, dimana hati orang tua tersebut yang melakukan tindakan Child Abuse terhadap anak-anaknya? Sungguh tak bisa saya telan dengan logika jika seorang ibu yang menyiksa bahkan membunuh anaknya sendiri setelah 9 bulan mengandung? Mengapa harus meluapkan emosi mereka terhadap anak-anak tak berdosa? Mengapa melampiaskan rasa frustasinya kepada anak-anak yang sungguh tak tahu apa kesalahan dia sebenarnya.

Bahkan diberbagai informasi penyiksaan itu tidak hanya berbentuk fisik melainkan emosional bahkan seksual. Ada pula Masyarakat yang memiliki minimnya informasi mengenai Child Abuse akan menganggap penyiksaan ini merupakan bentuk pendisiplinan diri terhadap anak-anak mereka yang melakukan kenakalan. Dimana hati mereka? Untuk sekian kalinya saya menggelengkan kepala tak percaya dengan apa yang saya baca. Sebuah penekanan hidup yang diberikan kepada anak mereka akan mempengaruhi sikap dewasa anak mereka nantinya. Guru BK saya pernah berkata jika seorang anak diajarkan sikap yang keras oleh orang tua mereka maka anak terbentuk pula sikap keras dalam dirinya. Atau orang tua yang tidak peduli bahkan terlalu cuek kepada anak mereka akan membuat anak mereka tersebut menjadi tidak peduli terhadap hidupnya. Apa jadinya jika seorang anak yang selalu diberi penyiksaan fisik dan memendam rasa amarah luar biasa namun tetap menyembunyikannya dalam hatinya? Saya benar-benar tak menyangka jika orang tua ini melakukan tindakan keras kepada buah hati mereka sendiri. Dalam buku itu dituliskan bahwa “Seorang dewasa yang pernah menjadi korban penyiksaan di masa kecilnya mungkin saja melampiaskan rasa frustrasinya kepada lingkungan sosialnya atau kepada orang-orang yang ia cintai. Orang dewasa yang melakukan Child Abuse ini sendiri sebenarnya seseorang yang memiliki kemarahan terpendam lalu merasa frustasi dan melihat anaknya sendiri menjadi sasaran frustasinya dan memasukan anak tersebut dalam lingkaran kemarahannya. Sehingga kemarahannya membabi buta, dan menjadikannya korban Child Abuse. Sebuah kemarahan yang terpendam terlalu lama akan membuat rasa amarah yang menumpuk dan akhirnya pecah sehingga melewati batas klimaks rasa kemarahannya yang sudah lama dipendam. Rasa amarah itu bisa dilampiaskan kepada siapa saja. Hal inilah merupakan dampak negative memendam amarah terus menerus.

Setiap tahun jumlah kasus penyiksaan anak terus meningkat. Pada tahun 1990, di Amerika Serikat, ada 2,5 juta kasus penyiksaan anak yang dilaporkan. Pada tahun 1991 angka itu meningkat jadi lebih dari 2,7 juta kasus.( ini merupakan data informasi yang saya dapat dari buku “ A Child Called It”). Dalam buku itu juga dijelaskan bahwa Child Abuse yang terjadi ini merupakan nomor 3 terparah di negara bagian California.

Dalam buku itu David walaupun diperlakukan sedemikian rupa oleh ibunya, ia tetap berharap keajaiban akan datang padanya dan membuat ibunya kembali seperti yang dulu, namun itu hanya khayalannya. Dalam buku itu tertulis bahwa betapa beratnya hidup David, Ia ingin meminta bantuan namun mulutnya diam membisu bahkan ayahnya pun tak dapat berbuat apa-apa dengan tindakan yang dilakukan ibunya terhadap dirinya. Dan yang membuat saya berdecak kagum adalah ketika dia melupakan rasa benci dirinya kepada masa lalunya yang kelam dan tidak menjadikan anak serta istrinya itu pelampiasan emosi dan kemarahan dirinya saat ia kecil ia bahkan memberikan kasih sayang yang sangat besar kepada anaknya yang Ia beri nama sama dengan ayahnya.

Sebenarnya tekanan ekonomi dan sosiallah yang mendesak suatu keluarga sampai ke batas melebihi normal, dalam situasi seperti inilah Child Abuse mungkin terjadi dalam keluarga tersebut.
Sebenarnya seorang anak yang mengalami Child Abuse memiliki rasa takut, kecewa, sakit bahkan rasa marahnya yang tersimpan rapi dalam hatinya. Hal inilah yang membuat mereka ketika mereka dewasa meluapkan emosi yang sudah terbendungnya kini pada orang terdekatnya.  David merupakan anak yang sangat pintar namun setelah menjadi korban penyiksaan itulah semuanya berubah ia menjadi sulit berkonsentrasi dalam sekolahnya dan ketika ia memiliki keberanian untuk keluar dari lingkaran kesengsaraan ia mulai mencoba membenahi dirinya sehingga ia berhasil menjadi pensiunan Angkatan Udara Amerika serikat bahkan ia pun memiliki prestasi-prestasi dan mendapat berbagai penghargaan serta pujian oleh dua mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan dan George Bush.

Pesan Moral
Buku ini dapat membuat kita membuka mata hati kita bahwa sekeras apapun masalah yang menimpa kita bukan berarti kita melampiaskan seluruh amarah kepada anak-anak tak berdosa. Dan untuk para orang tua hendaknya kalian menghindari cara kekerasan untuk membuat anak kalian jera dengan kenakalannya atau bahkan membuatnya disiplin. Karena justru kekerasan yang kalian lakukan itu akan membuat anak kalian belajar dari sikap kalian itu dan akan menanamkannya dibenaknya atau bahkan menjadikan bahan pelampiasan mereka kepada anak-anaknya kelak. Dan itu akan membuat semakin banyak Child Abuse di belahan dunia ini.

Terima kasih telah membaca tulisan saya, semoga bermanfaat. Sekian

Salam penulis

Shalsa

1 comment:

  1. salsa numpang sedot sinopsis nya salsa ya, buat tugas soalnya...
    makasih sebelumnya ^^

    ReplyDelete