Wednesday, 20 April 2022

Revenge?

Beberapa hari ini jadi lebih banyak memperhatikan segala isi pikiran yang terus berusaha ingin didengar. Dengan segala kekusutan hati dan pikiran ini, ternyata cukup amazed dengan diri sendiri bisa berhasil aware atas pikiran yang muncul. Tapi bukan berarti udah ga trauma, udah ga sakit atau udah lupa kayak memori menyakitkan volatil gitu aja. Bukan itu

Pernah suatu ketika ingin rasanya balas dendam atas segala perlakuan tak mengenakan yang bikin gak hanya isi hati kacau tapi juga pikiran dan hari. Sebagai manusia yang gak sempurna dan jauh dari kata manusia baik, ada juga keinginan jahat untuk balik menyakiti dan melihat seberapa sakit orang itu, biar sadar kalau perlakuannya udah jahat dan bikin trauma. But I realized, sisi jahat ini membuat gue sadar bahwa luka masih menganga dan memang gak mudah buat memaafkan. 
Tapi gue berhasil melawan keinginan itu, hanya jika seseorang jahat, melakukan hal keji dan bikin kita sakit bukan berarti kita perlu melakukan hal yang sama bukan? Gue memutuskan untuk komunikasi batas mana yang boleh gue lakukan dan hal yang bisa melanggar sebuah hubungan. Gue gamau hubungan gue menjadi bentuk balas dendam atas perlakuan dia ke gue. Not because I am good person dan diingat sebagai seseorang yang "baik" maupun "tulus", gue hanya gak mau membuat prinsip yang gue bangun akhirnya runtuh gitu wjq. Anggaplah itu bentuk gue belajar self love dan menghargai diri gue. Gue percaya dengan gue menghargai diri gue, gue pun akan menghargai orang lain. Dengan gue memegang prinsip dan terus on track, gak mengkhianati diri gue, gue pun gak akan mengkhianati orang lain.

Di saat proses gue belajar aware apa yang terjadi dengan diri gue, belajar mendengar segala isi pikiran gue yang kusut, hati yang terluka dan kondisi tubuh yang minta diperhatiin. Gue menyadari satu hal tentang memaafkan, traumatic moment dan memegang kendali masa depan. Chaos memang, berkali kali ambyar lagi. Tapi so what? That's life bukan? 

Otak manusia memang terdesain untuk berusaha ngasih sinyal agar kita gak terluka lagi dan bentuknya lekat banget sama overthinking. Aniwei bagian otak mananya, pernah dibahas sama dr jiemi tapi sayang gue lupa. Tapi setiap kali sinyal trauma, overthinking muncul dan itu menghasilkan kondisi fisik jari ngetuk meja, panas dingin, jantung berdebar dan kaki gabisa diem, gue menyadari bahwa gue lagi gak baik-baik aja. Proses membawa diri ke masa kini itu berat tapi berhasil dan gue berusaha untuk ga push diri gue untuk bisa balik ke gue sebelum terluka. Karena faktanya gue terluka and that's okay.

Trust me, gue ga sebaik itu sehingga mudah memaafkan dan ikhlas. Bahkan gue gatau cara ikhlas itu gimana. Tapi gue mikir akhir-akhir ini, bertahun tahun gue mencari definisi kebahagiaan dan melepaskan untuk menerima kenyataan bahwa gabisa selalu bahagia, sehingga tujuan gue akhirnya bukan mencari kebahagiaan lagi melainkan ketenangan. Pergi konsul ke profesional karena merasa something wrong, gue ga pernah tenang buat tidur malem, gue ga pernah tenang buat melakukan sesuatu, isi pikiran kusut dan berisik dan akhirnya setelah bertahun tahun, gue mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan sekaligus. I met my partner, my loves one, of course Im happy with him. Stiap saat rasanya gue selalu jatuh cinta sama dia sampai suatu ketika gue kecewa dan gue marah, lalu hidup gue ga tenang lagi dan ga bahagia lagi. Sampai akhirnya gue mikir, kenapa sosok "shalsa" yang bertumbuh bertahun tahun harus acak acakan lagi hanya karena seseorang yang udah menyakiti sedemikian rupa bahkan sampai bikin gue hilang bahagia dan ketenangan? Sampai mau menyakiti balik? Its not you shalsa, please stop. Revenge gak akan pernah bisa membalikkan kondisi ketenangan dan kebahagiaan sebelum moment gue tersakiti dan terluka, gak akan pernah. Revenge hanya akan membuat gue puas sesaat dan akhirnya menyesal, kenapa harus melakukan sesuatu yang akhirnya akan disesali?

Dan tentu saja pikiran gue selalu mengajak gue berkelana jauh ke depan dengan pertanyaan "what if", "bagaimana jika.." kekacauan isi pikiran ini ditenangkan kalimat dr jiemi yang selalu gue putar berulang "mikirin gimana nanti gak akan merubah fakta, tapi bisa merubah perasaan". Isi pikiran gue bilang gini "bagaimana jika setelah gue maafkan berkali-kali, lalu dia gak kapok dan kembali berkhianat karena merasa gue terlalu mudah?". Segala ketakutan itu membuat pikiran gue memikirkan jauh ke depan dan gak melihat sosok orang yang ada di samping gue. Faktanya, gue tersakiti karena perbuatan dia benar. Faktanya dia berkhianat memang benar. Tapi memikirkan "bagaimana jika" gak akan pernah merubah fakta dia udah berkhianat. Gue gabisa undo atau menghapus memori pengkhianatan itu.

Gue gabisa dengan mudah bilang kalau udah fully maafin. Atau bilang udah bisa 100% percaya dan gak trauma. Karena faktanya Im still trauma, tapi setudaknya gue bisa tau kondisi dan moment gue trauma untuk ambil jeda melihat ke dalam diri untuk menenangkan diri. Bertahun tahun belajar tenang, gue berharap kalau ketenangan akan tetap gue bisa dapatkan pelan pelan sampai akhirnya bisa fully ikhlas. Capek ternyata menggenggam sesuatu terlalu erat, banyak ketakutan dia melakukan hal itu lagi dan banyak keresahan memposisikan gue terlihat bodoh karena terlalu percaya. 

Gue jadi inget kalimat nasehat ibu di tahun lalu "kalau ada orang yang jahat, bikin hati kita sakit gausah dibales. Doain yang baik baik untuk orang itu". Gue tau rasanya sakit trauma dikhianati kayak gimana, awalnya gue pengen mendoakan dia bisa kena karmanya tapi setelah gue pikir pikir perasaan dan trauma itu gak mudah hilang, jangan sampai dia atau orang yang dia sayang mendapatkan perlakuan yang sama atas bentuk pengkhianatan, kasian karena rasanya gak enak. Sakitnya gak cuma di perasaan dsn pikiran aja tapi disekujur tubuh dan itu bikin capek banget. Kayak energi habis terkuras gitu aja. Karena gak gampang terus terusan belajar berdamai jatuh bangun buat liat lukanya biar sembuh, gak gampang dealing sama kondisi trauma atas hal hal yang melelahkan. Yang melelahkan itu traumanya, dan gue gak mau orang yang gue sayang merasakan hal yang sama. Bukan berarti gue pantas diperlakukan gak baik, tapi gue percaya bahwa setiap air mata dan rasa sakit yang muncul saat ini tuh sebenernya ada rencana Allah yang lebih besar yang lebih indah buat gue. Mungkin salah satunya mengajak gue buat belajar arti ikhlas dan memaafkan. 

Katanya, balas dendam terbaik yaitu memperlihatkan sisi terbaik kita sampai akhirnya pelaku menyesal udah berbuat jahat sama kita. Tapi gue cuma mau kembali mengembalikan fokus ke dalam diri gue sambil terus belajar untuk tenang. 

Karena Ketenangan berarti melepaskan, hal yang dia lakukan memang gak baik dan bukan hal yang pantas untuk dilakukan. Faktanya dia memang pernah menyakiti, faktanya memang gue tersakiti. Tapi bukan berarti gue terus menggenggam masa depan sampai lupa bahwa gue hidup di masa kini. Meski too soon to forgive dan it not easy to healing, tapi gue percaya bahwa selama gue tetap berusaha, gue akan tetap mendapatkan ketenangan seperti tujuan gue sejak tahun tahun lalu. Bonusnya adalah dia yang berubah menjadi lebih baik because I know he more than that. Tapi kalau engga kunjung berubah, gue hanya manusia biasa yang ingin diperlakukan sebagaimana gue memperlakukan orang lain, kalau engga berarti udah saatnya putar haluan.

Terus menerus membenci bikin gue kelelahan menjalani hidup. Bener ternyata kata montana, forgiveness is designed to set you free. Gue hanya gak mau hidup dalam penjara kebencian dengan kondisi terikat seluruh tubuh. Gak balas dendam itu pilihan gue untuk lebih menghargai hidup gue dan perasaan sayang gue ke dia. Sekarang gue cuma bisa pasrah kalau ternyata kalimat cheaters always be cheaters itu benar adanya. Gue yakin gue tau yang terbaik di masa depan untuk hidup dan diri gue.

No comments:

Post a Comment