Beberapa hari yang lalu, dapet informasi dadakan untuk liputan di Solo, which is berangkat pake pesawat dan ini pertama kalinya naik pesawat. Ada perasaan takut terutama pas take off, kebayang aja kalau ternyata amit amit kecelakaan dan tubuh gue gak utuh gak ada jasadnya lagi, dan takut aja ternyata mimpi gue terhenti sampai disini wkwk. Sebelum take off I got panic attach ringan sampai akhirnya aku napas, inget kata dr jiemi "napas itu pertanda hidup kita ada di masa kini", apapun yang terjadi even gue mati ga lama setelah take off, yaudah berarti emang itu jalan gue. Alhasil untuk penerbangan kedua, gue ga setakut itu, take off ga semengerikan itu, Im fine and Im here.
Kedua, gue selalu mengeluhkan ke semua orang bahwa kehidupan percintaan gue tak akan berhasil, gue takut atas ketidaksetiaan pasangan dan gue takut menjalin hubungan serius terutama menikah. I mean kenapa sih harus menikah? Kenapa harus menjalin hubungan yang akhirnya pasti ada yang tersakiti? Dan gue menemukan kekuatan diri gue ketika itu terjadi. Ya memang sakit, orang yang gak punya hati kali yang gak akan sakit galau, marah dan nangis berhari-hari tau kalau dia diselingkuhi. But Im here atas segala luka yang dia torehkan ke gue, gue menjadi gue yang lebih kuat. Kesel yes, marah yes dan ada dorongan mau balas dendam dari dalam, absolutely yes. Tapi kebodohan dia adalah mengabaikan perasaan gue yang tulus sampai rela setia, kesalahan dia adalah berpaling disaat seharusnya dia cuma bisa melihat gue, dan itu akan jadi penyesalan dia seumur hidup. Setidaknya tamparan kejadian ini membuat gue lebih realistis, bahwa sayang gak menjamin seseorang akan stay dan setia, manis manis yang ditunjukan ga menjamin dia ga main belakang, selalu kasih waktu buat lo ga menjamin dia banyak ngasih kebohongan. Awalnya gue merasa gue akan kehilangan diri gue ketika disakitin, gue hancur sehancur hancurnya, but I am not. Sakit hati tapi gue percaya bahwa kalau waktunya nangis dan keadaan gabisa bikin kita tegar yaudah nangis aja. Tapi percaya semua akan bounce back.
Tiap kali ngomongin soal pernikahan gue lari dan jantung gue berdegup kencang, sama pasangan gue pun rasanya pengen kabur aja. Kayak I am not ready for this. Banyak "what if" yang datang yang menyita isi pikiran gue. Bahkan obrolan soal hitung2n pernikahan selalu gue tunda karena gue takut. Gue takut gagal. Tapi bahkan beberapa hari yang lalu gue mengajak pasangan buat nyicil seserahan, meskipun ngomongnya ragu bukan ga berani ngomong sama dia karna takut tanggepannya gak enak. Tapi gue ragu "yakin nih lu siap menghadapi banyak surprise di depan sana? Yakin lu siap hidup sama orang yang pernah menyakiti lu? Yakin lu siap mengabdikan hidup lu buat orang lain ketika selama ini lu selalu hidup atas kemauan diri lu sendiri?". Karena setelah akad, tandanya hidup gue bukan lagi tentang diri gue, dan bisa jadi akan ada rasa sakit yang lebih banyak di depan sana, meskipun ada rasa bahagia. Ketika takut komitmen itu muncul di pria, ini muncul di gue. Tapi im so proud of my self, ambil satu langkah aja udah one step closer to reality. Ternyata gue mampu ya.
Gue pun mampu menghandle semua rasa sakit dan kecewa gue yang dia torehkan. Gue pun mampu belajar tutup pintu atas masa lalu menyakitkan. Meski masih kebawa rasa sakitnya. Tapi setelah dilewati, gue gak mati, gue masih disini dan justru jadi lebih lebih baik dari diri gue yang lama. *peluk
No comments:
Post a Comment