Hari ini ku berkunjung ke cinta pertamaku, orang yang pertama kali membuat aku terluka menahun karena kehilangan. Ayahku. Bukan karena hadirnya yang membuat luka, tapi tak ada lagi sosok dia yang bisa ku lihat. Dia yang mengajarkan arti untuk tak terlalu menggenggam erat. Dia juga yang mengajarkan aku untuk belajar ikhlas
Setiap hari aku seperti membuka lapisan memori kenangan seperti kotak pandora. Banyak hal mengejutkan setiap ku buka satu persatu. Sampai ke titik melepaskan. Dulu aku merasa menutup kotak pandora itu, tak melihat luka adalah cara tercepat buat melanjutkan hidup. Ternyata aku salah. Sembuhnya aku adalah dengan melihat dengan jelas lukanya, membaginya dengan orang lain yang ku percaya, ku obati sambil ku syukuri setiap momennya.
Tapi karena kehilangannya bukan lagi luka yang berat buatku, mengingat momen menyakitkannya bukan lagi membuatku pilu. Tapi justru itu yang membuatku seperti sekarang. Unik ya manusia selalu bertumbuh, akupun bangga sama diriku, sosok anak yang penuh luka hingga menjadi sosok wanita dewasa tak sempurna.
Biar ku ceritakan proses berdukaku yang menahun. Aku dulu orang yang percaya time can heal, waktu kan mengobati segala rasa sakit. Tapi sayang, bukan waktu yang mengobati tapi cara kita bersamai waktu yang bisa mengobati. Kita gak bisa cuma duduk diem aja sampai akhirnya gak akan merasa sakit tiap mengingat. Bukan gitu cara healing. Tapi perlu ada effort untuk melihat segala luka dan duka didalamnya.
Desember 2006 adalah momen yang membuat aku terluka. Rumah sakit, kursi roda, tidur, buah sawo, kacang ijo, lagu ruang rindunya letto, buku harian nayla itu hal yang pernah ku hindari karena setiap kali flashback yang berkaitan sama hal itu muncul, aku merasakan sakit tak tertahankan. Bulan desember adalah hari di saat ayahku keluar rumah sakit dan hari-hari dimana kami menjalani hari-hari terakhir bersamanya.
Sirosis hati menyerang tubuhnya di usia yang muda, hingga membuatnya keluar masuk rumah sakit. Saat itu seingatku diagnosa dokter adalah pembengkakan empedu dan mengecilnya hati jadi fungsi organnya udah rusak. Karena sakit parahnya itu, dokter menyerah karena katanya obat dokter hanya memperpanjang waktu kami bersamanya. Hingga akhirnya ada pengobatan alternatif yang kami coba, sayang gak berlangsung lama. Karena bener kalimat "obat hanya memperpanjang waktu" setelah mencoba pengobatan alternatif dan stop obat dari dokter. Kami menghadapi kematian depan mata.
Sebelum detik terakhir, kami merasakan kejanggalan. Bukan kesurupan, tapi karena fungsi otaknya bapak yang terganggu. Entah apakah karena kerusakan hati atau memang ada penyakit lain, aku masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku cuma inget bahwa kekhawatiran dari orang rumah selalu ada ketika bapak menghilang. Iya hilang dari rumah sampe bikin kita bingung cari dimana
Ada momen ternyata bapak lagi solat di sebelah pos lapangan gak jauh dari rumah, ada momen bapak ternyata pergi, tanpa sadar. Kerusakan organnya membuat bapak gak bisa berpikir jernih dan melakukan hal aneh salah satunya solat di tempat lain.
Depan rumah kami itu ada pohon kedongdong tinggi tapi buahnya manis. Suatu hari, bapak minta dibelikan buah-buahan, ada sawo dan mangga manalagi muda. Aku makan mangga manalagi dan kedongdong aku cocol ke sambel. Tepat di depanku ada bapak pake sarungnya.
Lalu karena bapak minta sawo, diapun makan sawonya. Malam hari tepat di depan kamar mandi bapak kambuh lagi, melakukan sesuatu tanpa sadar. Aku di saat iru lagi begadang menjahit karena tugas seni budaya. Aku cuma bingung apakah kerusakan di otaknya parah banget sampai sering kambuh gak sadar melakukan sesuatu dan itu flip secara tiba-tiba. Di depan kamar mandi, bapak pegang gayung dengan mata tertutup sambil berdiri dia cuma bilang "Allah, Allah, Allah" gak ada nama lain yang dia sebut termasuk ibu, tapi cuma Allah.
Akhirnya ibu bawa bapak ke kasur untuk rebahan. Padahal awalnya memang bapak ke kamar mandi buat ambil wudhu. Karena aku begadang ngerjain tugas seni budaya, di saat itu ada sinetron yang pemainnya Naysila mirdad dengan soundtracknya yaitu ruang rindunya Letto. Tapi sebelumnya aku nonton Buku Harian Nayla. Aku begadang dengan tugasku di ruang TV sambil aku ngerasa keanehan lagi. Bapak terus menerus tiduran - duduk -tiduran - duduk di kasur kayak orang yang gak tenang. Tapi kondisinya beda, aku cuma merasa karena udah hal yang gak aneh, akhir-akhir ini bapak kondisinya sering melakukan sesuatu hal diluar kebiasaan bapak dan itu pun gak sadarkan diri. Aku baru tau setelahnya ternyata bapak cemas meninggalkan kita semua, meninggalkan anak yang masih kecil dan ibu yang gak kerja apapun.
Aku ketiduran dengan tugasku yang belum selesai, besoknya aku bangun ternyata bapak koma. Kondisinya tiduran tapi masih bisa respon dengan air mata. Saat itu ibu masak kacang ijo dan nyuruh aku buat suapin bapak. Aku coba suapin sambil bilang "aku sayang bapak. Bapak mau pergi bukan?" Tapi responnya cuma keluar air mata. Gimana rasanya kalimat kita gak dijawab dengan kalimat dari mulutnya langsung, justru dijawab dengan air mata? Bayangin aja rasanya.
Lalu ibu coba telp budhe, kakaknya bapak. Lalu budhe tanya emang kenapa bisa gitu kondisinya tiba-tiba, ibu bilang kemarin minta beliin sawo. Dan aku gatau sawo ini emang menurut ilmu beneran punya efek atau emang cuma jalannya Tuhan aja gitu. Budhe bilang "kalau orang sakit parah gaboleh dikasih sawo". Disitu perasaan kita kalut, terutama ibu. Ibu ngalamin trauma bertahun-tahun kita gak pernah makan sawo, liat sawo aja takut. Padahal lukanya ada di masa lalu, tapi traumanya di bawa sampai bertahun-tahun. Kadang aku mengagumi cara Allah menciptakan otak dan tubuh yang menyimpan memori termasuk luka, jadi meski ingatannya udah samar, tubuh kita ingat dan ngasih respon gak enak. Itu cara kerja trauma.
Setelah dikagetkan dengan kalimat " orang sakit gaboleh makan sawo", budhe akhirnya dateng dari jakarta ke bogor. Kita semua doa buat bapak, kita memaksa diri buat ikhlas, kalau emang bapak mau pergi dan gak terlalu lama ngerasain sakit. Malam harinya aku pindah tidur di ruang TV sambil nonton buku harian nayla dan ketiduran. Tiba-tiba aku mimpi ada di tanah luas dan ada 2 bapak-bapak menggali kuburan dan aku tanya "pak ini dimana ya?" Lalu mereka jawab "ini kan kuburan bapaknya neng. Nanti bapak neng akan dikubur disini". Aku freezing di mimpi itu dan ada goyangan yang bangunin aku buat bilang "sha bapak udah meninggal". Rasanya aku ga napas untuk sesaat. Aku ga nangis cuma masih mencerna kenapa bisa mimpi gitu. Sampai sekarang aku benci ketiduran, apalagi kalau di ketiduran itu aku mimpi, jadi takut akan jadi kenyataan.
Bapak meninggalnya dini hari di hari jumat. Tapi sampai subuh tubuhnya ga kaku bahkan cenderung masih ada suhu orang hidup dan lemas. Sampai om aku cari kaca buat didekatkan ke hidungnya, khawatirnya emang masih hidup. Tapi saat itu, dipikiranku "Ya allah hidupkan kembali bapak", harapan besar seorang anak kecil yang padahal kalau dipikir-pikir organnya pasti udah hancur, logikanya gak akan hiduplah. Akhirnya setelah proses mandi dan disolatkan bapak disemayankan di daerah dramaga deket kakek nenek.
Karena anak pertama, saat itu usia aku 12 tahun alias kelas 6 SD kayaknya belum ujian nasional. Aku diminta buat menghubungi semua orang termasuk temennya bapak yang merupakan ayah dari temen aku yang tinggalnya di Subang. Saat itu aku bilang "fina, bapak aku udah meninggal". Tapi kata 'meninggal' itu bikin napas sesak. Jangan tanya rasanya seperti apa, kayak patah hati pertama ditinggal bapak dan di usia aku yang masih kecil.
Hari hari kita jalani dengan coba tegar meski gatau harus apa. Tapi life must go on kan? Meski sakit dsn terluka bahkan membuat kita dihantui trauma berkepanjangan. Pada akhirnya kita harus berdamai bukan?
Bertahun-tahun ga makan sawo, ibu lebih parah karena ibu yang ngasih sawonya jadi ada perasaan bersalah sampai kita semua ga dibiarkan makan sawo. Lalu aku juga jadi benci ketiduran. Tiap kali denger lalu Letto ruang rindu dan Sinetron buku harian nayla muncul flashback bapak bapak bilang "Allah Allah" depan kamar mandi, bapak yang bangun - tidur -bangun - tidur ga tenang dan air mata bapak.
Aku bahkan pernah di posisi marah sama Allah karena tega banget bikin aku jadi yatim di usia muda, bikin aku cuma bisa denger orang-orang dengan bangga cerita tentang ayahnya aku cuma bisa diem, bikin aku bahkan sedih karena gak ada yang bisa bilang ke calon suami aku "untuk jagain selalu aku, ga nyakitin aku dan jadi imam yang baik" bahkan ga ada bapak yang bisa menikahkan aku nanti jadi wali. Momen ditinggal bapaknya atau sekelebat flashback detik kematian bapak udah ga jadi rasa sakit lagi. Cuma yang sakit adalah ketika menyadari bahwa "seandainya aku kenapa-kenapa, seandainya ada pria yang jahat nyakitin aku segitu hebatnya, gak ada orang yang maju marah atau mukulin pria itu karena udah bikin aku nangis". Itu sih yang berat, masa kini dan masa lalu. Tapi aku lagi proses belajar mengikhlaskan, bukan karena bapak yang gamau tinggal dan hadir di masa sekarang, atau Allah yang jahat bikin aku gak punya pria yang bisa melindungi aku. Tapi mungkin itu cara Allah bikin aku kuat. I am strong enough, Allah aja percaya aku pun harus percaya bukan?
Dan proses traumatic itu gambarannya kayak Wanda masuk ke pintu-pintu rasa sakit ketika dia masih kecil, ketika dia kehilangan sodaranya, ketika dia kehilangan vision. Tapi memori itu terkubur di bagian otak cuma rasa sakitnya masih ada. Sampai kadang buat menghilangkan rasa sakit, kita menciptakan ilusi agar terbebas dari rasa sakit. Wanda menciptakan ilusi vision untuk terhindar dari rasa sakit.
Karena rasa sakit itu hal yang selaku kita hindarkan.
Pada akhirnya adalah harus berdamai sama rasa sakitnya.
Kayak abis jatuh lukanya harus diliat, diobatin dengan rutin dan di cek berkala agar ga infeksi. Proses pengobatannya itu sakit, siapa yang tahan lagi sakit berdarah dikasih alkohol/betadine kan? Yang kita mau cepet tertutup luka itu.
So hi my self, you are strong enough. Percaya ya ❤
No comments:
Post a Comment