Bener kata dr jiemi, aku emang butuh napas. Aku gabisa mengalihkan pikiran yang awalnya flashback "rasa sakit" itu muncul trus aku usir gitu aja. Yang ada dia tambah muncul berkali-kali lipat. Aku coba atur napas, deeply breathing. Sambil bilang ke diri sendiri dan pikiran yang muncul "Thank you brain, aku tau kamu cuma mengingatkan kan? Gamau aku sakit lagi kan? Thank you udah menjaga aku. Dan kamu masa lalu, kamu gak akan bunuh aku hanya karena kamu muncul berkali-kali. Aku emang sering banget mengeluarkan air mata, aku juga sering nangis, tapi itu karena aku kuat. Aku bisa menghadapi rasa sakit yang kamu timbulkan. Tapi saat ini aku baik-baik aja".
Proses menenangkan diri ini kayak sugesti bahwa setan gak bisa bunuh kita. Masa lalu yang menyakitkan itu juga gak akan bisa menyakiti aku di masa kini. I will back stronger of being vulnerable
Setelah banyak cara how to overcome trauma. Salah satu caranya adalah bikin time to worry. Siapin waktu khusus untuk overthinking, untuk worry, untuk berduka. I mean, bilang terus menerus bahwa diri ini masih terluka karena sikap orang lain yang menyakiti juga laam-lama bikin muak ga sih? Kayak cara tercepat bikin orang capek sama kita adalah bikin dia terus menerus kesel sampe muak.
Ngomong-ngomong soal worry time, aku biasa spend waktu di jam 2 - 3 sore atau 3 - 4 sore. Waktu ini akan tentatif sesuai dengan jam kerja. Di waktu ini biasanya aku akan coba googling "how to full recovery from PTSD" atau nanya ke google dengan harapan nemu jawaban "Can I trust people who betrayal? How to start healing?". Lalu di momen ini akan coba buat nanya ke diri sendiri "Are u okay? Apa perasaan kamu?"
Dan di momen ini biasanya aku coba buat list kekhawatiran aku apa aja. Apa yang aku harapkan, apa yang ingin aku lakukan, dan bertanya bisakah aku bertahan dengan mengambil resiko tersakiti lagi? Apa alasan aku bertahan? Takut sendirian dan kesepiankah atau karena memang melihat bahwa dia orang baik yang bisa berubah?
Bahkan di momen ini karena udah mempengaruhi gejolak emosi yang gak beraturan, mempengaruhi fisik karena lebih stres, insomnia, dari morning person jadi night person dan asam lambung karena stres. Bahkan aku lagi coba check up ke spesialis paru karena merasa suka sesak napas. Tapi trust me, sakit batin itu mempengaruhi sakit fisik. Jadi kalau hasil paru aku baik, itu semua karena stres dan gejolak emosi aku aja yang perlu aku regulasi. Di momen kayak gini, jadi mikir "apakah aku perlu ketemu psikiater lagi? Karena I am completely messy. Aku bahkan capek menjalani hidup aku. Rasanya pengen ngilang atau at least jadi manusia ga berperasaan"
Tiap lagi makan pasti bilang "aku capek"
Lagi kerja, nyender ke kursi bilang "aku capek"
Lagi main hp "duh capek"
Bahkan lagi debat pun bilang "aku capek"
Tapi memang akhir-akhir ini menjalani hidup jadi lebih capek sampe mikir "Ya Allah katanya kan Allah tidak akan menguji kemampuan hambanya di luar batas kemampuan hambanya. Tapi jujur aku capek dan ini di luar batas kemampuan aku. Aku ga perlu naik kelas gapapa. Gausah ditambah-tambah lagi ujiannya. Karena kepala aku mau meledak rasanya. Udahan plis"
Tapi worry time ini pun kadang ke distract dengan banyak hal, jadi ya sebisa mungkin cari waktu buat merenung. Karena aku cuma pengen sembuh aja gitu. Aku pengen melihat masa lalu sambil nyapa "hai" dengan ramah tanpa melibatkan emosi gak enak atau gejala gejala aneh dalam tubuh. Apa ini cara Allah mengajarkan ikhlas, sabar dan bersyukur dengan cara yang kejam yang gak masuk akal nalar aku sebagai manusia kurang iman?
No comments:
Post a Comment